Oleh : Khirania Genzika Maharani
Pagi 5 Oktober 2009 pertama kali aku melihat indahnya dunia, serasa bahagia terlahir dari rahim ibuku. Mulai dari situlah awal mula cerita hidupku. Aku lahir dari pasangan orang tua yang memang tak sempurna dan tidak serba ada. Akan tetapi dari ketidaksempurnaan kedua orang tuaku mereka adalah simbol kebahagiaanku yang hakiki.
Sebut saja namaku Bunga. Aku dibesarkan di sebuah kota besar di Jawa Timur karena memang ayahku berasal dari kota itu. Aku dan ibuku tinggal dari kecil sampai umur sembilan tahun di kota itu. Sebut saja kota itu, Surabaya. Ayahku memang bukan pegawai yang dibayar setiap bulan. Ayahku seorang pekerja serabutan. Ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Dulu waktu kecil aku tak pernah tahu kalau ayahku kerja serabutan. Kerjaan itu seperti apa, tetapi ketika sekarang aku sudah besar aku baru tahu, seperti apa pekerjaan ayahku.
Pada saat itu ada hal yang sampai membuat keluarga kecilku tercerai-berai. Ibuku berpisah dengan status yang tak tentu sedangkan aku harus dibawa pulang ke kampung ibuku di desa kecil pinggiran Kota Nganjuk. Dari situ kehidupan yang aku jalani mulai tak tentu arah karena dengan perpisahan kedua orang tuaku. Aku harus menumpang hidup ke sana ke mari tidak menetap kadang aku harus ikut nenekku yang sudah tua dan sakit-sakitan.
Aku berusaha bahagia menerima keadaan yang ada. Aku berusaha tak menyalahkan siapa-siapa dan aku anggap ini adalah perjalananku. Selang berpisah dari ayahku memang ibuku bekerja untuk menambah kebutuhan sehari-hariku tapi itu tidak bertahan lama. Ketika aku umur sebelas tahun ibuku menikah lagi tanpa status resmi dan memiliki 2 anak. Dari situ perlakuan ibu kandungku mulai berubah, sepertinya aku bukan anaknya. Dia sering menghajarku dan ngomong dengan kata kata yang seolah- olah aku bukan siapa-siapanya.
Jangankan urusan biaya sekolah, kadang makan pun saya harus numpang ke teman-teman. Saya merasa bersyukur ketika masuk tahun ajaran baru di SMPN 2 Jatikalen. Saya mendapat seragam gratis tanpa dipungut biaya. Bertemu dengan bapak/ibu guru yang sangat ramah dan bijaksana serta teman-teman yang sering membantu saya tanpa memandang latar belakangku. Sampai keperluan sekolahku satu tahun dibantu oleh bapak dan ibu guru SMPN 2 Jatikalen. Kadang aku merasa “minder” dengan kekuranganku. Namun, aku punya teman satu yang sangat menyemangatiku karena aku sempat putus asa untuk berhenti sekolah. Hal itu terjadi karena perlakuan ibuku yang tak pernah menganggap aku ada.
Mungkin ketika di sekolah itulah duniaku yang nyata karena di situlah aku merasa nyaman dan dianggap ada. Mereka semua menyanyangiku tanpa melihat kekuranganku. “Hanya satu pintaku ibu, “ Apapun keadaanku, aku terlahir dari rahimmu, anggap aku ada walaupun aku tak sebahagia teman-teman sebayaku. ”
Posting Komentar untuk "CERITA PENDEK "IBU, ANGGAP AKU ADA""